Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Keputusan ini diambil tanpa adanya fraksi yang menolak, namun hal tersebut justru memicu berbagai kritik dari masyarakat dan pegiat demokrasi. Banyak pihak yang mempertanyakan proses legislasi yang dianggap berlangsung terlalu cepat, bahkan ada laporan yang menyebut bahwa beberapa pembahasan dilakukan secara tertutup di sebuah hotel mewah berbintang lima. Selain itu, munculnya kembali konsep dwifungsi TNI dalam rancangan undang-undang ini juga menimbulkan perdebatan panas di kalangan publik.
Proses Penyusunan yang Kontroversial
RUU TNI ini dikritik karena dianggap tidak melalui proses pembahasan yang transparan. Banyak pihak menyoroti ketidakterbukaan pemerintah dan DPR RI dalam proses legislasi. Dalam sistem demokrasi yang sehat, aturan hukum yang akan berdampak luas seharusnya melibatkan partisipasi publik secara menyeluruh. Namun, dalam kasus RUU ini, publik dan bahkan sebagian besar akademisi tidak mendapatkan akses yang cukup untuk memberikan masukan sebelum rancangan undang-undang ini disahkan.
Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah adanya pertemuan tertutup di sebuah hotel mewah dalam proses penyusunan RUU ini. Fakta ini kemudian memunculkan spekulasi bahwa ada kepentingan tertentu yang berusaha menjauhkan proses pembahasan dari pengawasan publik. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip keterbukaan yang seharusnya menjadi landasan utama dalam pembuatan kebijakan publik.
Kembalinya Dwifungsi TNI: Sebuah Kemunduran Demokrasi?
Salah satu aspek paling kontroversial dalam RUU ini adalah dimasukkannya kembali peran dwifungsi TNI, sebuah konsep yang digunakan pada era Orde Baru di mana militer tidak hanya bertugas dalam bidang pertahanan, tetapi juga memiliki kewenangan dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Konsep ini dulu digunakan oleh rezim Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan dengan melibatkan militer dalam berbagai jabatan pemerintahan sipil.
Setelah reformasi 1998, sistem dwifungsi ini dihapuskan demi menciptakan supremasi sipil dalam demokrasi Indonesia. Namun, dengan adanya RUU TNI yang baru ini, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa langkah tersebut akan membuka kembali peluang bagi militer untuk masuk ke dalam ranah politik dan jabatan-jabatan publik yang seharusnya dipegang oleh warga sipil. Hal ini memicu ketakutan akan potensi kembalinya militerisme dalam tata kelola pemerintahan yang seharusnya lebih demokratis dan transparan.
Penolakan dan Aksi Protes dari Masyarakat
Keputusan DPR RI untuk mengesahkan RUU TNI ini tidak diterima dengan baik oleh sebagian masyarakat. Gelombang protes mulai muncul dari berbagai kalangan, termasuk aktivis hak asasi manusia, akademisi, dan mahasiswa. Mereka mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini akan membawa Indonesia kembali ke era di mana militer memiliki peran dominan dalam pemerintahan.
Aksi protes yang terjadi di depan gedung DPR RI menjadi bukti bahwa masyarakat tidak puas dengan proses legislasi ini. Demonstran menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap kembalinya dwifungsi TNI dan menuntut agar pemerintah serta DPR lebih terbuka dalam membuat kebijakan yang berdampak pada kehidupan publik.
Implikasi Jangka Panjang terhadap Demokrasi dan Hak Sipil
Jika RUU ini diterapkan dalam bentuknya yang sekarang, Indonesia berpotensi mengalami kemunduran dalam demokrasi. Keterlibatan militer dalam jabatan sipil dapat mengarah pada berkurangnya kebebasan sipil dan meningkatnya otoritarianisme. Selain itu, militer yang memiliki kewenangan besar dalam pemerintahan juga dapat mengancam independensi kekuasaan sipil dan menambah ketidakseimbangan dalam struktur pemerintahan.
Di negara-negara lain, keterlibatan militer dalam pemerintahan sering kali menyebabkan ketidakstabilan politik. Contoh di beberapa negara di Amerika Latin dan Asia menunjukkan bahwa ketika militer diberi peran politik yang terlalu besar, demokrasi sering kali melemah dan hak-hak sipil terancam. Indonesia harus belajar dari sejarah dan memastikan bahwa militer tetap berada dalam koridor tugas utamanya, yaitu menjaga pertahanan negara, tanpa mencampuri urusan politik dan pemerintahan.
Kesimpulan: Tantangan bagi Demokrasi Indonesia
RUU TNI yang baru saja disahkan tanpa ada fraksi yang menolak telah memicu perdebatan sengit di masyarakat. Cara pengesahannya yang dinilai terburu-buru dan tidak transparan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap DPR dan pemerintah. Selain itu, kembalinya konsep dwifungsi TNI menjadi ancaman serius bagi demokrasi yang telah dibangun setelah reformasi.
Saat ini, masyarakat perlu terus mengawasi implementasi dari undang-undang ini dan menuntut akuntabilitas dari pemerintah dan DPR. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mengutamakan keterbukaan, partisipasi publik, dan keseimbangan antara kekuatan sipil dan militer. Oleh karena itu, kritik dan suara dari publik harus terus disuarakan agar Indonesia tetap berada di jalur demokrasi yang benar.
Apakah Anda setuju dengan keputusan DPR RI ini? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar!
Leave a Comment