Dalam bulan Ramadan, berbagai istilah dan kebiasaan unik sering menjadi pembahasan hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Salah satu kata yang belakangan ini mencuri perhatian publik adalah “mokel”. Kata ini menjadi perbincangan hangat di media sosial, apalagi setelah diketahui bahwa istilah “mokel” secara resmi ditambahkan ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus resmi bahasa Indonesia yang disusun dan dikembangkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Apa sebenarnya arti dari “mokel”? Dan bagaimana kata ini bisa sampai masuk ke dalam KBBI? Mari kita ulas makna, asal-usul, serta fenomena di balik kata yang satu ini.
Asal Usul Kata “Mokel”
“Mokel” berasal dari bahasa Jawa yang digunakan secara informal untuk merujuk pada seseorang yang makan atau minum di siang hari saat sedang menjalankan ibadah puasa Ramadan, namun dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena merasa malu atau takut diketahui oleh orang lain. Dalam konteks budaya Jawa, mokel sering dianggap sebagai tindakan yang tidak pantas, karena bertolak belakang dengan semangat menahan diri yang menjadi inti dari puasa Ramadan.
Kini, menurut definisi resmi yang tercantum di KBBI, mokel adalah: “makan sebelum waktu berbuka puasa, biasanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.” Penambahan kata ini menandakan semakin luasnya penggunaan dan pengakuan terhadap istilah ini dalam bahasa Indonesia kontemporer.
Kenapa Kata “Mokel” Bisa Masuk KBBI?
Masuknya kata “mokel” ke dalam KBBI menunjukkan bahwa bahasa adalah sesuatu yang hidup, berkembang sesuai dengan kebiasaan dan dinamika sosial masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi dan media sosial telah mempercepat penyebaran berbagai istilah lokal atau slang daerah ke kancah nasional. Kata “mokel” banyak digunakan dalam meme, unggahan humor, hingga diskusi ringan di berbagai platform online, terutama saat bulan Ramadan tiba.
KBBI tidak hanya menyusun kata berdasarkan baku atau tidaknya, tetapi juga mempertimbangkan sejauh mana suatu kata digunakan di masyarakat Indonesia. Dengan makin seringnya kata “mokel” digunakan dalam berbagai konteks, baik tulisan maupun lisan, wajar apabila kata ini akhirnya masuk ke dalam daftar kata yang diakui secara resmi.
Reaksi Publik Terhadap Penambahan Kata “Mokel”
Tidak sedikit netizen yang bereaksi dengan campuran humor dan keheranan terhadap pengumuman ini. Banyak yang tidak menyangka bahwa sebuah kata yang terkesan “guyon” atau lucu seperti “mokel” bisa mendapat tempat di KBBI. Dalam unggahan foto dan tanggapan netizen terlihat emoji menangis dan tertawa yang menggambarkan bercampurnya rasa geli dan kagum.
Unggahan seperti “😭😭🫵🏻🫵🏻” menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki cara unik dalam merespons hal-hal yang tidak terduga. Bagi sebagian orang, ini menunjukkan bahwa KBBI semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat dan mampu mengikuti perkembangan bahasa gaul yang berkembang secara organik.
Fenomena “Mokel” dan Realitas Sosial saat Ramadan
Secara sosiologis, mokel juga memperlihatkan dinamika masyarakat dalam menjalani ibadah puasa. Ada kalangan yang masih berusaha menjalankan ibadah sebaik mungkin, namun karena keterbatasan atau kondisi tertentu, mereka tergoda atau terpaksa membatalkan puasa lebih awal. Meski dilakukan secara diam-diam, fenomena ini sebenarnya cukup akrab di berbagai kota dan desa.
Tindakan mokel acapkali dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dan dilarang dalam konteks agama. Oleh karena itu, orang-orang yang melakukannya biasanya tidak terang-terangan, melainkan memilih bersembunyi atau mencari tempat tersembunyi agar tidak diketahui orang lain.
Meski bukan sesuatu yang dibenarkan secara agama, realitas mokel tetap menjadi bagian dari dinamika masyarakat Muslim di Indonesia, dan karena itu menjadi suatu fenomena bahasa yang mendapat pengakuan di kamus nasional.
Implikasi Sosial dari Pengakuan KBBI
Penambahan kata mokel ke dalam KBBI bukan berarti memberikan justifikasi atau pembenaran terhadap tindakan membatalkan puasa lebih awal. Justru ini menunjukkan bahwa KBBI sebagai dokumen bahasa memperhatikan realitas kultural dan sosial yang berkembang di masyarakat.
Ini juga memberikan pembelajaran penting mengenai bagaimana budaya populer dan bahasa daerah dapat berkembang dan memberi kontribusi terhadap kekayaan leksikon bahasa nasional. Proses ini menyiratkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang inklusif, yang terus bertumbuh seiring dengan pertumbuhan budaya dan gaya hidup masyarakatnya.
Peluang untuk Kata-kata Daerah Lain
Dengan masuknya “mokel” ke dalam KBBI, terbuka pula kemungkinan bagi banyak kata-kata daerah lainnya untuk diadopsi secara nasional. Ini tentu menjadi angin segar bagi pelestarian bahasa daerah sekaligus bentuk pengakuan terhadap keanekaragaman budaya Indonesia.
Bayangkan, jika kata-kata seperti “ciamik”, “emboh”, “ngabuburit”, atau “nyakrek” juga makin diterima dan dikenali, maka hal ini akan memperkaya bahasa nasional dan sekaligus memperkuat identitas kebudayaan lokal.
Tantangan dalam Perkembangan Bahasa dan Budaya
Meskipun demikian, perlu ada keseimbangan antara menerima ragam bahasa daerah dan tetap mempertahankan kaidah serta etika penggunaan bahasa yang baik. Misalnya, ketika kata seperti “mokel” sudah diakui secara resmi, penting untuk tetap menyadari nilai-nilai moral dan etika yang terkandung dalam konteks kata itu. Meskipun banyak digunakan dalam konteks guyon atau humor, tetap harus ada kesadaran bahwa puasa adalah ibadah yang perlu dijalani dengan keikhlasan dan tekad.
Para pendidik, tokoh agama, dan masyarakat umum dapat menjadikan fenomena “mokel” sebagai bahan diskusi yang produktif. Dari situ, mungkin bisa muncul pendekatan yang lebih manusiawi namun tetap religius dalam menyikapi orang-orang yang kesulitan menjalankan puasa.
Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Kata
Masuknya kata “mokel” ke dalam KBBI adalah cerminan dari luwesnya bahasa Indonesia dalam menampung dan menyesuaikan dengan berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat. Bagi sebagian orang, ini lucu dan menghibur. Bagi para linguistikus, ini menarik dan penting sebagai bahan kajian. Dan bagi masyarakat umum, ini menjadi satu lagi bukti bahwa bahasa dan budaya selalu saling terkait secara erat.
Kita bisa memandang “mokel” bukan hanya sebagai kata, tetapi juga sebagai simbol dari realitas sosial-budaya yang hidup di tengah masyarakat Indonesia. Pengakuan terhadap keberadaan kata ini bisa menjadi tonggak penting dalam memahami kompleksitas praktik keagamaan, humor lokal, hingga dinamika bahasa di era digital. Pada akhirnya, ini memperkaya bahasa nasional kita sekaligus memberi warna tersendiri pada perjalanan budaya yang terus berkembang di negeri ini.
Leave a Comment